DOKUMEN BOIKOT
PEDAGANG BETAWI
TERHADAP
THUNG BOUW KIAT DAN H.M.
KIOE SENG LIONG
APRIL 1905
CP. 081363228014
CP. 081363228014
hal depan
I S I N Y A :
Kita orang njang bertanda tangan dibawa ini , orang-orang
berdagang dan tinggal di Batawi, kasi bertaoe njang kita orang dapat dengar
sering kali banjak orang dagang dapat tjektjok dan setori sama Thung Bouw Kiat di Batawi dan
sama Handel Maatschappy “Kioe Seng Liong” di Buitenzorg, dari sebab mendjoewal
atawa membeli barang-barang dagangan,
sama dia nja.
Maka dari sebab itoe kita orang masing-masing njang bertanda
tangan di bawa ini mengakoe dengan soeka-nja sendiri soeda berdjandji tida
soeka boeat tjampoer dagang lagi sama Thung Bouw Kiat dan H.M. “Kioe Seng
Lioang” njang terseboet, meski dengan
oetang atawa dengan contant, atawa dengan toeloengan Toewan Makelaar atawa dengan tangan sendiri.
Dan kita orang masing-masing njang bertanda tangan dibawa ini
dengan soekanja sendiri mengakoe berdjandji lagi, djikalaoe siapa-siapa njang
melanggar ini atoeran dan perdjandjian saban kali misti lantas membajar dengan
oewang F 500 / Lima ratoes roepiah / pada roema sekolah dari Vereniging “Tiong
Hoa Hwee Koan” di Batawi, ja-itoe seperti commissieloan. Dan kita orang
masing-masing njang bertanda tangan di bawa ini soeda mengakoe dengan soeka-nja
sendiri kasi koewasa pada Bestuur dari
Vereeniging “Tiong Hoa Hwee Koan” di Batawi ada hak boeat tagi dengan kami
atawa dengan pertoeloengan-nja Toewan-toewan advocaat dan Procureur di Batawi
aken djalanken perkara pada orang ada bertanda tangan dibawa ini njang
melanggar dalem ini perdjandjian.
hal belakang
Barangkali, aksi boikot itu terinspirasi Gerakan saudagar Surabaya pimpinan Cho Sik Giok dan Cho Cie An yg memboikot badan dagang kolonial Handelsverening Amsterdam. Cerita lengkapnya dibawah ini :
GERAKAN ETNIS CINA di SURABAYA MELAWAN HANDELSVERENIGING
AMSTERDAM
(Naskah ini disadur ulang seperti yang diumumkan dalam surat kabar mingguan
“Sunda Berita” no. 16, Th. II,19 Juni 1904,
hlm 2-3 sesuai dengan judul aslinya :
Gerakan Bangsa Cina di Surabaya memusuhi Handelsverening Amsterdam)
Raden Mas Tirto
Adhi Soeryo
Pembaca barangkali sudah tahu tentu tentang
lelucon di Surabaya, sehingga penulis tidak perlu bercerita lebih panjang. Pada
tahun 1902 beberapa saudagar Cina yang muak dan anti dengan Handelsverening
Amsterdam1 (HA) melakukan perlawanan yang disebabkan
beberapa hal. Dibawah pimpinan Cho Sik Giok dan Cho Cie An, mereka sepakat
untuk melakukan tindakan perlawanan terhadap HA, yaitu melakukan
boikot terhadap semua transaksi perdagangan dengan badan dagang kolonial
tersebut. Hasil pertemuan ini segera mendapat dukungan sebanyak 80 suara
pedagang dari etnis Cina yang segera dikukuhkan perjanjian didepan notaris.
Pada koran mingguan Het Weekblad Voor
Indie, dikabarkan bahwa tindakan itu mendapat sambutan hangat dari
badan-badan dagang sejenis seperti HA dibenua Eropa, karena dapat
menyingkirkan saingan terberatnya. Segera berita ini menjadi pembicaraan hangat
yang gaungnya sampai ke daratan Eropa. HA melakukan tindakan preventif
agar para pedagang tersebut dapat mencabut aksi boikot mereka, karena akan
menyebabkan kerugian yang sangat besar.
HA meminta bantuan beberapa bank menjadi juru
damai. Bank-bank tersebut lantas mengirimkan surat kepada kaum pemboikot agar
segera menyudahi permusuhan mereka terhadap HA, dengan ancaman surat
gadai hutang mereka akan ditolak. Ancaman tersebut malah membuat para pedagang
Cina menjadi lebih kukuh pada pendirian mereka. HA minta bantuan
pemerintah kolonial melalui Asistant Resident Surabaya yang segera
memanggil pemboikot untuk mau berdamai dan menanyakan penyebab perselisihan
tersebut tapi tetap ditanggapi dingin para pedagang.
Kehabisan akal, Handelverening Amsterdam
memakai jasa pengacara menuntut kepengadilan, tapi tetap dapat dipatahkan.
Jalan terakhir, HA mengajak serikat dagang etnis Cina untuk berdamai
dengan mengimingi uang ganti rugi sebanyak f 25.000,00 untuk mendirikan
sekolah. Permintaan tersebut tetap mendapatkan jawaban tidak dari
pedagang yg telah mendapatkan kemenangan mutlak. Seperti kata pepatah : Rukun
itu pohon kesentosaan.
Di Batavia berdiri satu dua perusahaan yang
menerbitkan surat kabar berbahasa Melayu, yang dipelopori beberapa orang Cina
yang sudah mulai menggunakan bahasa Melayu. Para pembaca tentu tahu namanya.2)
Kemenangan itu menjadi sumber inspirasi
berharga di berbagai tempat. Orang Cina melakukan aksi perlawanan serupa
terhadap Kapten Arab di Betawi bernama Syekh Umar bin Yusuf Manggus. Kapten
Arab itu sangat termashyur namanya di Batavia sebagai rajanya para juru lelang.
Setiap lelang rumah atau tanah, yang ditangani olehnya selalu berbuah
kemenangan, sampai ada orang yang berusaha menyogok dia agar tidak datang
ketempat lelang. Suatu waktu Kapten Manggus hendak pergi ke Bogor, di stasiun
Gambir ia bertemu dengan seorang Cina yang bertanya “ Tuan hendak mudik ? ”,,,,
“ ya ” balas Manggus.
Waktu itu sedang diadakan lelang di Mester3),
lantas si penanya menduga Manggus hendak pergi kesana. Orang Cina itu
mengatakan agar Kapten Arab itu segera mengurungkan niatnya ketempat lelang
dengan menyogok f 200,00. Setelah uang diterima, dia menunjukkan tiket
perjalanan ke Bogor. Pedagang Cina itu meresa kecele karena tertipu tapi
akhirnya ikhlas karena lelang di Mester bakal menang karena Manggus
tidak ikut.
Orang-orang Cina mendirikan perusahaan yang
menandingi Manggus, tetapi harus punya modal finansial besar agar tidak rugi
tergoda oleh Manggus. Inilah pelajaran berharga dari kasus Surabaya.
Para pembaca pribumi patut memperhatikan,
rukun itu pohon kesentosaan. Jika kita anak negeri dapat bersatu seperti etnis
Cina maka kita akan mengalami kemajuan yang berarti. Keuntungan yang jauh lebih
besar dari etnis Cina bisa didapatkan jika dapat mengambil hikmah dari
kerukunan. Bukankan anak negeri punya hak yang sama dengan bangsa asing ? Etnis
Cina yang tidak punya hak keleluasaan untuk bergerak dan tinggal, begitu maju
karena bersatu !
Tiong Hoa Kwan jangan dikira kecil hasilnya,
jangan pula dianggap semuanya dari kalangan berduit. Diantara mereka juga
banyak datang dari golongan tidak mampu, tapi begitu royalnya mengeluarkan uang
demi kepentingan mereka.
Andai tabiat bangsa kita seperti itu,
sehingga bukan hanya ratap dan tangis yang dapat dilakukan kepada negeri, kita
harus bermurah hati. Lihatlah berapa sekolahan yang dibiayai pemerintah
kolonial, mereka memang bermaksud membatasi memajuan anak negeri.
Negeri melindungi kita sejak dari jaman
Brawijaya, jangan hanya berpangku tangan saja. Harus menunjukkan bahwa kita setia dan tahu berterimakasih, seperti
memelihara dan menjaga kerukunan satu sama lain. Hal ini membantu keinginan
untuk keluar dari kemiskinan dan kemelaratan.4)
Kita priyayi yang menyatakan setia pada
negeri, harus mempelopori kerukunan dengan keringat sendiri. Semua priyayi yang
besar maupun kecil agar berikrar bersatu dan rukun. Mengerahkan segala
kemampuan, pikiran dan energi seperti telaah terhadap segala narasumber baik
dari buku atau koran sehingga mengerti pokok permasalahannya5) serta
diiringi niat tulus untuk menolong bangsanya.
source : http://poor-lonesome-koboi.blogspot.com/2007/06/handelsvereniging-amsterdam.html